Kakawin Bhāratayuddha di antara karya-karya sastra Jawa Kuno, adalah yang paling termasyhur. Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Korawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.
Masa penulisan
Menurut suryasangkala yang terdapat pada awal kakawin ini, karya sastra ini ditulis ketika (tahun), sanga-kuda-śuddha-candramā. Sangkala ini memberikan nilai: 1079 Saka atau 1157 Masehi, pada masa pemerintahan prabu Jayabaya. Persisnya kakawin ini selesai ditulis pada tanggal 6 November 1157.
Penulis
Kakawin ini digubah oleh dua orang yaitu: mpu Sedah dan mpu Panuluh. Bagian permulaan sampai tampilnya prabu Salya ke medan perang adalah karya mpu Sedah, selanjutnya adalah karya mpu Panuluh.
Konon ketika mpu Sedah ingin menuliskan kecantikan Dewi Setyawati, permaisuri prabu Salya, ia membutuhkan contoh supaya dapat berhasil. Maka putri prabu Jayabaya yang diberikan kepadanya. Tetapi mpu Sedah berbuat kurang ajar sehingga ia dihukum dan karyanya harus diberikan kepada orang lain.
Tetapi menurut mpu Panuluh sendiri, setelah hasil karya mpu Sedah hampir sampai kisah sang prabu Salya yang akan berangkat ke medan perang, maka tak sampailah hatinya akan melanjutkannya. Maka mpu Panuluh diminta melanjutkannya. Cerita ini disebutkan pada akhir kakawin Bharatayuddha.
Bharatayuddha dalam budaya Jawa Baru
Javanese ha.svg Artikel ini memuat aksara Jawa. Tanpa dukungan multibahasa, Anda mungkin akan melihat tanda tanya, tanda kotak, atau karakter lain selain dari aksara Jawa.
Kakawin Bharatayuddha adalah salah satu dari beberapa dari karya sastra Jawa Kuno yang tetap dikenal pada masa Islam. Dalam pertunjukan wayang, beberapa bagian dari Bharatayuddha dinyanyikan sebagai bagian dari nyanyian suluk, bahkan juga dalam pertunjukan wayang yang bernafaskan Islam, misalkan cerita wayang Menak. Terutama cuplikan dari pupuh kelima, bait satu sangat sering dipakai:
Pupuh V.1
lěnglěng ramyanikang śaśāngka kuměñar mangrěngga rūmning purī
mangkin tan pasiring halěpnikang umah mās lwir murub ring langit
těkwan sarwamaṇik tawingnya sinawung sākṣat sěkarning suji
unggwan Bhānumatī yan amrěm alangö mwang nātha Duryodhana
ꦊꦔ꧀ꦊꦁ ꦫꦩꦾꦤꦶꦏꦁ ꦯꦯꦴꦔ꧀ꦏ ꦏꦸꦩꦼꦚꦂ ꦩꦔꦽꦁꦒ ꦫꦹꦩ꧀ꦤꦶꦁ ꦥꦸꦫꦷ
ꦩꦔ꧀ꦏꦶꦤ꧀ ꦠꦤ꧀ ꦥꦱꦶꦫꦶꦁ ꦲꦊꦥ꧀ꦤꦶꦏꦁ ꦲꦸꦩꦃ ꦩꦴꦱ꧀ ꦭ꧀ꦮꦶꦂ ꦩꦸꦫꦸꦧ꧀ ꦫꦶꦁ ꦭꦔꦶꦠ꧀
ꦠꦼꦏ꧀ꦮꦤ꧀ ꦱꦂꦮꦩꦟꦶꦏ꧀ ꦠꦮꦶꦁꦚ ꦱꦶꦤꦮꦸꦁ ꦱꦴꦏ꧀ꦰꦠ꧀ ꦱꦼꦏꦂꦤꦶꦁ ꦱꦸꦗꦶ
ꦲꦸꦁTerjemahan
Sinar bulan yang menawan sungguh menambah keindahan puri
Tiadalah bandingan keindahan paviliun emas yang bersinar-sinar seakan-akan berkilau di langit
Dinding-dindingnya terbuat dari batu-batu ratna manikam yang dirangkai bagaikan bunga
Tempat sang Bhanumati dan prabu Duryodhana tidur dalam cinta
Berikut cuplikan naskah Bharatayudha :
Kutipan | Terjemahan |
---|---|
Ri huwusirə pinūjā dé sang wīrə sirə kabèh, ksana rahinə kamantyan mangkat sang Drupada sutə, tka marêpatatingkah byūhānung bhayə bhisamə, ngarani glarirèwêh kyāti wīrə kagəpati | Setelah selesai dipuja oleh ksatria semuanya, maka pada siang hari berangkatlah Sang Raja putera Drupada, setibanya telah siap mengatur barisan yang sangat membahayakan, nama barisannya yang berbahaya ialah “Garuda” yang masyur gagah berani |
Drupada pinakə têndas tan len Pārtha sirə patuk, parə Ratu sirə prsta śrī Dharmātmaja pinuji, hlari têngênikī sang Drstadyumna sahə balə, kiwə pawanə sutā kas kocap Satyaki ri wugat | Raja Drupada merupakan kepala dan tak lain Arjuna sebagai paruh, para Raja merupakan punggung dan Maharaja Yudistira sebagai pimpinan, sayap bagian kanan merupakan Sang Drestadyumna bersama bala tentara, sayap kiri merupakan Bhima yang terkenal kekuatannya dan Satyaki pada ekornya |
Ya tə tiniru tkap Sang śrī Duryodhana pihadhan, Sakuni pinakə têndas manggêh Śālya sirə patuk, dwi ri kiwa ri têngên Sang Bhīsma Drona panalingə, Kuru pati Sirə prstə dyah Duśśāsana ri wugat | Hal itu ditiru pula oleh Sang Duryodana. Sang Sakuni merupakan kepala dan ditetapkan Raja Madra sebagai paruh, sayap kanan kiri adalah Rsi Bhisma dan pendeta Drona merupakan telinga, Raja Kuru merupakan punggung dan Sang Dursasana pada ekor |
Ri tlasirə matingkah ngkā ganggā sutə numaso, rumusaki pakekesning byuhē pāndawə pinanah, dinasə gunə tkap Sang Pārthāng laksə mamanahi, linudirakinambah de Sang Bhīma kasulayah | Setelah semuanya selesai mengatur barisan kala itu Rsi Bhisma maju ke muka, merusak bagian luar pasukan Pandawa dengan panah, dibalas oleh Arjuna berlipat ganda menyerang dengan panah, ditambah pula diterjang oleh Sang Bima sehingga banyak bergelimpangan |
Karananikə rusāk syuh norā paksə mapuliha, pirə ta kunangtusnyang yodhāgal mati pinanah, Kurupati Krpa Śalya mwang Duśśāsana Śakuni, padhə malajêngumungsir Bhīsma Drona pinakə toh | Sebab itu binasa hancur luluh dan tak seorang pun hendak membalas, entah berapa ratus pahlawan yang gugur dipanah, Raja Kuru – Pendeta Kripa – Raja Salya – dan Sang Dursasana serta Sang Sakuni, sama-sama lari menuju Rsi Bhisma dan Pendeta Drona yang merupakan taruhan |
Niyata laruta sakwèhning yodhā sakuru kula, ya tanangutusa sang śrī Bhīsma Drona sumuruda tuwi pêtêngi wêlokning rènwa ngdé lêwu wulangun, wkasanawa tkapning rah lumrā madhêmi lebū | Niscaya akan bubar lari tunggang langgang para pahlawan bangsa Kaurawa, jika tidak disuruh oleh Rsi Bhisma dan Pendeta Drona agar mereka mundur, ditambah pula keadaan gelap karena mengepulnya debu membuat mereka bingung tidak tahu keadaan, akhirnya keadaan terang karena darah berhamburan memadamkan debu |
Ri marinika ptêng tang rah lwir sāgara mangêbêk, maka lêtuha rawisning wīrāh māti mapupuhan, gaja kuda karanganya hrūng jrah pāndanika kasêk, aracana makakawyang śārā tan wêdi mapulih | Setelah gelap menghilang darah seakan-akan air laut pasang, yang merupakan lumpurnya adalah kain perhiasan para pahlawan yang gugur saling bantai, bangkai gajah dan kuda sebagai karangnya dan senjata panah yang bertaburan laksana pandan yang rimbun, sebagai orang menyusun suatu karangan para pahlawan yang tak merasa takut membalas dendam |
Irika nasēmu képwan Sang Pārthārddha kaparihain, lumihat i paranāthākwèh māting ratha karunna, nya Sang Irawan anak Sang Pārthāwās lawan Ulupuy, pêjah alaga lawan Sang Çrênggi rākshasa nipunna | Ketika itu rupanya Arjuna menjadi gelisah dan agak kecewa, setelah ia melihat Raja-Raja yang secara menyedihkan terbunuh dalam keretanya, di sanalah terdapat Sang Irawan, anak Sang Arjuna dengan Dewi Ulupi yang gugur dalam pertempuran melawan Sang Srenggi, seorang rakshasa yang ulung |